Lompat ke konten

Di tanah lada – review pengalaman membaca

Aku akhirnya membaca buku ini. Aku membeli buku ini setelah mendengarnya beberapa kali dari seorang teman dan melihatnya berkali-kali di toko buku.

Buku ini jauh berbeda dari cerita-cerita yang pernah kubaca selama ini. Satu-satunya pembanding yang terpikir olehku adalah buku Rencana Besar oleh Wisnu Suryaning Adji dirilis akhir 2022 lalu. Protagonis kita di buku ini adalah Ava, seorang anak berumur 6 tahun yang memandang dunia dengan caranya sendiri.

protagonis [kb.] sastra: tokoh utama dalam cerita rekaan.

Mengikuti ceritanya sangat menguras empati, setidaknya hingga dua pertiga jalan. Kepolosan Ava yang terkadang menjadikan suasananya lucu tidak banyak meringankan beban ceritanya. (Salah satu alasan aku terpikir buku Rencana Besar karena protagonisnya punya sudut pandang sendiri yang tidak awam dan lucunya datang dari ironi.) Aku merasa lega atau bahkan katarsis ketika mereka bertemu pak tukang sate (Pak Wahyu) dan bu tukang sate. Walau masih dipayungi kekhawatiran, aku merasa lebih nyaman mengikuti ceritanya hingga akhir. Bagiku, akhir ceritanya itu terasa surealis tapi bahagia. Aku merasa Ava dan P berakhir menemukan kondisi yang damai.

Dari sisi penulisan, ada beberapa hal yang aku nikmati.

  • Aku cukup menyukai “blurb” buku ini, dia membantuku menata ekspektasi dan mengarahkan jalan utama ceritanya. Sayangnya tidak ada peringatan tentang kekerasan.
  • Kalimatnya pendek-pendek, pilihan katanya terbatas, penjelasannya suka meracau menonjolkan sifat polosnya protagonis kita.
  • Referensi terhadap cerita pendek “the egg” merupakan kejutan yang manis karena itu adalah salah satu cerpen favoritku (artikel dalam Bahasa Inggris). Karena telur dan ayam sering dibahas berulang-ulang di dalam cerita, aku tambah senang bagaimana cerpen ini dirajut ke dalam ceritanya.

Aku adalah manusia naif. Selain semua anak berhak hidup bahagia seperti yang dipercaya oleh penulis, aku juga percaya ada banyak orang baik. Di dalam cerita, aku melihat lebih banyak orang baik ketimbang yang jahat. Sayang, kejahatannya kebanyakan dilakukan oleh orang yang sama dan dekat.

Aku ingin percaya bahwa semua hal ada penyebabnya. Tidak ada yang murni baik ataupun buruk namun melihat ayah protagonis, ada keresahan dan kesadaran bahwa ada orang-orang seperti dia di luar sana di dunia nyata dan mungkin sulit berubah. Ada kegundahan, keraguan, bahwa mereka bisa berubah. Aku sempat terpikir bahwa mungkin bumi tidak akan lebih buruk kalau orang-orang seperti itu lenyap. Aku mengalami konflik dan dilema ketika menyadari aku punya pikiran seperti itu.

Lega, lepas, dan katarsis merupakan beberapa kata serupa tapi tak sama yang paling dekat yang bisa merangkum pengalamanku membaca buku ini. Aku bersyukur membaca buku ini. Kupikir buku ini boleh dibaca oleh mereka yang akan menjadi orang tua.

Laman: 1 2