Lompat ke konten

Aneka Prasangka Angka

Satu itu yang paling batu. Dia sering mengganggap dirinya ratu, padahal tidak ada yang memberinya restu.

Dua adalah yang paling tua. Bayanganku dia tidak suka bersua dan lebih memilih tinggal di gua.

Tiga sering mencuri mangga. Ia malah bangga kalau ia kerap ditangkap oleh warga.

Empat mulutnya suka tidak tahu tempat. Sering sekali ia mengumpat selagi sempat.

Lima lain dengan empat. Ia kalau berucap pasti berirama dan berima. Aku tidak kaget kalau sesungguhnya kata rima sendiri itu diciptakan oleh lima.

Enam paling sering mengunjungi pantai ketika matahari terbenam. Terkadang pohon kelapa ditanam, terkadang dia hanya senam.

Tujuh itu serupa dengan satu. Dia angkuh dan sering kali acuh.

Delapan adalah yang penakut. Dia seringkali gelagapan. Pikirannya bisa kelayapan begitu melihat papan, sampan atau lipan.

Sembilan sering menemani enam. Dia suka melihat rembulan dari pinggir pantai di dekat jalan.

Sepuluh tidak pernah punya musuh. Hatinya mudah sekali luluh dan tidak pernah mengeluh. Kata warga, dia cocok sekali menjadi penyuluh.

Seratus statusnya hiatus. Kudengar dia baru saja meletus. Mungkin dia dongkol dengan nol.

Kalbu ibu Seribu tidak pernah membisu. Hatinya terus-terusan kelabu dan debu melihat duka anak-anak angka.

Foto oleh Tony Hand melalui Unsplash