Awan tidak takut menjadi dirinya sendiri. Bentuknya banyak dan tidak pernah tetap. Hitungan detik, dia berpindah dan berubah. Dia menangis begitu saja ketika tidak sanggup menampung lagi emosi. Dia menangis gerimis tanpa menunggu dirinya penuh. Ketika muatan negatifnya melimpah, ia bercerita kepada hutan dan tanah. Berteriak menggelegar apabila merasa butuh.
Beruntung, hutan tidak takut dengan luapan awan. Ia selalu mendengarkan tangisannya. Sesekali ia ikut membara berempati, membakar sepotong dirinya karena ia yakin potongan itu akan tumbuh dan pulih kembali.
Tanah adalah yang paling sabar. Dia tidak bergeming ketika awan menangis atau berteriak. Dia tetap di sana, mendengarkan. Dia adalah pondasi untuk semuanya, tempat pohon berdiri, wadah sungai mengalir, dan ruang untuk danau berhenti. Tanah adalah yang paling sabar. Hanya kepada tanah, laut berbagi rahasia terdalamnya.
Foto oleh Charles Yeager dari Unsplash