Lompat ke konten

Catatan si Koper

Oktober 2021

Yes! Ada perjalanan jauh lagi. Engga cuma berpindah sejauh dua kilometer dan melewati jalan batu bata yang tidak rata. Perjalananku lengkap dengan naik bus, naik kereta, dan naik pesawat. Dari moda transportasi, mungkin hanya kurang naik kapal saja. Naik lift pun sudah.

Perjalananku dimulai dari menunggu bis, kemudian menunggu kereta api, dan akhirnya menunggu pesawat untuk terbang. Apakah aku menunggu lagi di dalam pesawat? Tentu saja tidak. Aku bertemu koper-koper lainnya. Tujuan utama penerbangan: Jakarta, Indonesia via Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Koper-koper di sini datang dari banyak tempat dan juga memiliki berbagai tujuan.

Ada yang ingin berlibur di Uni Emirat Arab. Ada yang transit, sama seperti aku. Ada yang akhirnya pulang setelah bertahun-tahun pergi. Ada yang akan memulai hidup barunya di tempat lain. Ada juga yang weightshaming. “Kok ringan? Jelas jelas kamu yang paling besar di antara kita,” begitu kata salah satu koper. Heran, koper kok ada yang juga suka komentar fisik ya. “Majikanku minimalis kebetulan. Sengaja dibelinya satu buah aku daripada dua buah yang lebih kecil. Tidak repot mengingatnya,” aku jelaskan ini semua kepada koper Belanda itu. Ah, majikanku ini juga bukan yang suka berpergian menginap ke mana-mana lagian. Dia tipe yang menetap dan mengumpulkan buku bacaan. Kutu buku bisa dibilang. Kalau pergi pun, dia sukanya membawa tas jinjing atau tas panggul.

Di dalam bagasi itu kami bermain ‘siapa pernah?’. Permainan ini sudah menjadi umum bagi kami para koper karena tidak mungkin mendengarkan cerita satu demi satu. Siapa pernah disimpan di bawah kasur? Siapa pernah ketumpahan air? Siapa pernah dijadikan tempat duduk? Siapa pernah dibongkar di bandara karena massanya melebihi batas? Siapa yang pernah tertinggal? Banyak sekali pertanyaan yang kami lempar. Hampir 5 jam juga kami memainkannya karena hanya 5 jam waktu yang kami punya.

Kami berhenti di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Aku berpindah ke pesawat yang akan melanjutkan perjalanannya ke Jakarta, Indonesia. Teman-teman koperku berubah. Kalau yang tadi tujuannya cukup bervariasi, kini banyak koper yang pulang mengambil waktu libur atau waktu cuti mereka. Koper-koper pekerja migas, pekerja pabrik plastik, buruh masak, dan pekerja-pekerja sektor lainnya yang pulang menemui keluarga, pasangannya, orang tuanya dan orang-orang terdekat. Kebanyakan dari mereka rutin melakukan perjalanan UEA-Indonesia ini. Di sini, kami juga bermain ‘siapa pernah?’. Permainan ini paling mengasyikkan karena sederhana dan memungkinkan kami untuk bercerita dengan singkat. Kami tidak tahu kapan lagi kami akan bertemu satu sama lain jadi setiap pengalaman di bagasi pesawat merupakan pengalaman berarti.

Kurang lebih 18 jam total kuhabiskan di bagasi pesawat. Aku sendiri merasa nyaman karena aku berbaring rapi. Turun dari pesawat, aku diangkut ke atas mobil bagasi dan dipindahkan ke rel bagasi. Aku termasuk gelombang bagasi terakhir yang dikeluarkan mengingat aku termasuk yang paling lama di pesawat. Cukup aneh rasanya pelan pelan melihat satu per satu diangkut sembari menunggu giliran. Tiba di rel bagasi, majikanku ternyata sudah menyelesaikan proses imigrasi yang ditambah protokol kesehatan kedatangan internasional. Aku melihat dia masih menggoyangkan hidungnya seperti sehabis dicolok.

Tak lama didorong, aku dinaikkan lagi ke dalam bus. Di dalam bagasi bus, aku tidak begitu betah karena aku khawatir. Aku khawatir karena busnya cukup lama tidak bergerak. Sesudah sampai pun juga lama berhentinya tanpa ada kejelasan. Aku tidak tahu ke mana aku dibawa pula. Bagaimana kalau aku akan diecer kembali nantinya dan berganti pemilik. Atau bagaimana kalau aku disobek agar didapat isi dalam badanku. Ya memang kecil kemungkinannya tapi satu kasus saja, maka karirku sebagai koper profesional akan tamat.

Setelah keluar, kami dibariskan di atas halaman gedung. Aku disuruh berdiri begitu saja tanpa diberitahu apapun seperti disetrap oleh guru. Kami disemprot dengan alat pembasmi hama. “Kegiatan ini baru ada dua tahun belakangan ini,” kata koper asal Qatar. Mungkin mereka takut ada hama yang menempel di tubuh kami. Atau desinfektan yang membunuh mikroorganisme. Entahlah. Sudah lebih dari 24 jam aku belum bertemu kasur. Ini adalah salah satu perjalanan terpanjangku tanpa menemui kasur semenjak keluar dari gudang.

Aku tertegun melihat gedung tinggi di depanku. Majikanku masa akan menumpang lagi? Hobi sekali sepertinya. Dan memang betul, setidaknya-tidaknya delapan hari sebelum diperbolehkan melanjutkan perjalanan. “Ini memang prosedur kedatangan internasional,” jelas koper asal Qatar yang sama tadi. Sepertinya dia sudah sangat berpengalaman. Kami kemudian dibagi menjadi unit-unit dan aku bertemu dengan sepasang koper dari sektor migas. Tidak banyak pesan yang ditukarkan karena kami dibawa menuju kamar masing-masing. Aku mendapatkan ruang tamu. Setidaknya kasurnya baru dan bersih. Tujuh hari berlalu tanpa banyak hal berarti terjadi. Tidak singkat tapi tidak juga begitu lama.

Di hari kedelapan, kami dirapikan kembali. Didirikan dari posisi terbaring. Koper-koper lain berjalan keluar di jam tujuh pagi dan di jam dua siang, sementara keberangkatanku belum ada tanda-tandanya hingga pukul 10 malam hari. Iya, hanya tersisa aku di satu lantai. Aku akhirnya melanjutkan perjalanan keesokan paginya. Gedung itu memiliki bagian yang paling tidak kusukai. Naik turun tangga.

NB: aku menggunakan gaya tulis majikanku karena kalau menggunakan gaya tulis sendiri, harga koperku (atau harga diri dalam konsep manusia) akan jatuh nanti di depan koper-koper lainnya.

Thumbnail oleh Craig Adderley dari Pexels