Lompat ke konten

Curhat tong sampah – fiksi kilat

Menjadi tong sampah itu gampang gampang susah. Tugasku gampang, menampung sampah hingga petugas kebersihan datang. Susahnya, tidak semua membuangnya ke dalam ronggaku. Banyak dari mereka melemparnya ke arahku namun tidak jatuh ke dalamku. Hasilnya, sampah berserakan di sekitarku. Basah. Remah. Tumpah.

Bukan hanya itu, ada juga yang dengan sengaja membiarkan sampahnya berserakan. Tugas petugas kebersihan katanya. Tak tahukah mereka, aku ada untuk membantu pekerjaan si petugas kebersihan. Mungkin mereka tidak pernah sadar berapa banyak sampah yang mereka semua hasilkan setiap harinya dan berapa sedikit petugas kebersihan untuk mengurusi itu semua.

Ada kalanya, aku yang dikambing hitamkan ketika mereka membuang sampah sembarangan. Tidak ada tong sampah. Mereka saja yang bodoh. Memegang sampah sedikit lebih lama sebelum menemukan diriku akan membantu masa depan mereka sendiri nantinya.

Selain bersabar melihat si pembuang sampah sembarangan, orang-orang pembuang sampah pada tempatnya masih berani-beraninya menyamakan si pembuang sampah sembarangan denganku. Kepalanya tong kosong, katanya. Enak saja, aku lebih paham soal kebersihan dibanding si pembuang sampah sembarangan.

Tapi yasudahlah, aku bukan diciptakan untuk ceramah, hanya untuk menampung. Bayangkan kalau aku bisa berjalan dan berceramah seperti meminta sumbangan, kupikir kalian akan kesal juga karena aku membawa keliling bau-bau yang tidak mengenakkan hidung kalian.

Untuk kalian yang mengunjungiku kemudian mengeluarkan sampah dari kantong celana, kantong jaket dan kantong plastik yang telah kalian genggam selama 15 menit atau malah lebih, aku melihat kalian dan aku berterima kasih karenanya.

Foto oleh Markus Spiske melalui Unsplash