Burung-burung berkicau. Langit mulai menampakkan warnanya. Cahaya matahari mengintip dari balik cakrawala, menembus dedaunan dan mengisi ruangan. Hawa sejuk masih menyelimuti tubuhku membuatku enggan beranjak.
Pagi yang cerah.
Harusnya itu yang kupikirkan. Atau kurasakan. Dengan malas aku menggapai meja kecil di sebelah kasurku. Tak kutemukan sumber suara yang membangunkanku. Alih-alih menemukan ponsel, tanganku menemukan buku kecil.
Ayo bangun, tulisnya. Rapi tertata seperti dicetak oleh mesin tik padahal aku sendiri yang menulisnya sendiri kemarin. Apa yang kupikirkan tadi malam? Tidak ingat. Masa laluku menang kali ini. Aku bangkit dari kasur dengan niat untuk mematikan alarm yang sudah terbiasa berbunyi pukul enam pagi. Aku tidak ingat lagi seperti apa hidupku sebelumnya tanpa alarm ponsel.
Ponselku ternyata berada di bawah kursi di bawah meja belajar. Push up sepuluh kali, tertera di layar. Kugerakkan tubuhku seperti kemauannya. Saatnya kembali ke pulau kapuk, melanjutkan mimpiku yang terputus.
Alam memanggil. Meminta untuk dibuang. Kusambangi kamar mandi dan ada coretan spidol di cerminnya: ‘Senyum 🙂‘. Lengkap dengan emoji. Kududuki keramik dingin sembari berusaha menaikkan kedua ujung bibirku.
Sulit. Kugunakan jempol dan telunjuk untuk membantuku tersenyum.
Konyol. Aku menertawai diriku dan entah bagaimana mengerti dan mengingat apa yang kuinginkan kemarin. Pagi yang cerah.
Foto oleh Trude Jonsson Stangel di Unsplash