Dulu bumi dianggap berbentuk datar, rupanya bumi berbentuk elipsoid. Bukan bola dengan diameter yang sama di segala sisinya. Diameter bumi sepanjang khatulistiwa lebih panjang ketimbang diameter di antara kutub utara dan kutub selatan. Awalnya kita mengira bumi merupakan pusat alam semesta. Matahari, bulan dan planet lainnya mengitari bumi. Ada kepala manusia yang melayang ketika ada yang menyatakan bahwa bumi yang mengitari matahari. Sekarang bahkan kita tidak yakin di mana pusat alam semesta.
Awalnya aku belajar bahwa air mendidih di suhu 100 derajat Celsius, kemudian memasuki pelajaran yang bernama kimia, ternyata angka itu bisa berubah bergantung pada tekanan dan volume di ruangannya. Oh, zat yang terlarut juga bisa mempersulit air mendidih dan perubahan ketinggian di atas permukaan laut juga merubah titik didihnya. Itu artinya aku bisa mendidihkan air dengan lebih cepat dengan membawanya ke gunung. Tentunya tidak memperhitungkan waktu transportasinya.
Contoh ketiga adalah aliran air. Air selalu terkadang mengalir dari tempat tinggi ke tempat rendah. Tidak selalu. Pompa memungkinkan air mengalir dari tempat rendah ke tempat yang tinggi. Menurut pelajaran mekanika fluida, air mengalir dari tingkat energi (head) yang tinggi ke tingkat energi (head) yang rendah. Butuh waktu untuk memahami bahwa pompa memberikan tenaga ke dalam air agar bisa mencapai posisi yang lebih tinggi dari lokasi pompa.
Teori bertumbuh seiring pemahaman bertumbuh. Namun, dari tiga contoh sebelumnya, aku seakan-akan memahami berkat ada teorinya. Aku lupa bahwa aku bukan tokoh tunggal dalam hidup. Teori-teori itu ada karena pemahaman mereka di masa lalu. Teori itu adalah sebuah usaha mengkristalkan pemahaman yang dapat diturunkan dari generasi ke generasi.
Teori yang dipelajari juga bertumbuh berkat pemahaman yang bertumbuh. Ibarat baju adalah teori dan pemahaman adalah tubuh, maka ketika ada baju yang kekecilan, kita mencari baju yang lebih besar yang lebih cocok untuk ukuran tubuhnya yang sudah bertumbuh. Bukan menyalahkan badan yang besar dan memotongnya agar cocok dengan ukuran bajunya.
Pemahaman bertumbuh. Berawal dari memahami apa itu mendidih lalu memahami bahwa titik didih berubah bergantung kondisi. Mengetahui bahwa api bukanlah benda cair, padat ataupun gas.
Bayi lahir ke dunia tanpa pemahaman apapun. Seperti lahan yang kosong. Tidak bisa berbicara apalagi menentukan pilihan hidup. Tempatkan dia di Amerika atau Britania Raya, maka dia akan belajar Bahasa Inggris. Tempatkan dia di Republik Rakyat Cina, maka dia akan belajar Bahasa Mandarin. Tempatkan dia di Indonesia, maka dia akan belajar Bahasa Indonesia.
Menariknya, kita mendapat bahasa ibu dengan mudah karena kita mencari asosiasi dari pemahaman dan pengalaman yang kita serap dari lingkungan. Berbeda dengan mempelajari bahasa asing yang tentunya bersifat asing. Kita mempelajari kosakata baru yang dapat diterjemahkan ke kosakata yang kita ketahui. Bukan diasosiasikan terhadap pemahaman kita akan dunia.
Bahasa memudahkan kita untuk memahami dunia. Memungkinkan kita untuk berkomunikasi apa yang kita alami. Sayangnya dia juga terkadang membatasi. Seluruh pengalaman itu bisa diwujudkan dalam 26 huruf dan 10 angka. Oh, dan juga tanda baca. Emoji merupakan salah satu cara kita untuk membantu menyalurkan apa yang tidak tersampaikan oleh kata-kata. Bahasa itu tidak ada yang lengkap dan detil. Contoh sederhananya adalah kita tidak membedakan manis apel dan manis mangga, menyebut warna di antara hijau dan biru dengan biru kehijauan atau hijau kebiruan, tidak memberi nama semut satu demi satu seperti kita menamai manusia.
Tidak tahu akan sesuatu itu wajar. Salah juga sebenarnya lumrah. Akan ada hal-hal yang terabaikan. Menurutku, ruang itu terbentuk karena ada dan tidak ada. Ada dinding yang mengelilingi namun tidak ada dinding yang mengisinya. Pemahaman itu bertumbuh. Apabila tidak ada benihnya atau tidak dirawat, maka tidak akan ada yang bertumbuh. Namun, sebesar-besarnya tumbuhan, pasti akan ada ruang di antara ranting dan dedaunannya.
Menjadi salah bukanlah sesuatu yang memalukan.