Lompat ke konten

Sistem Perguruan Tinggi di Belanda

Disclaimer: ini bukan artikel tips mendapatkan beasiswa atau tips sukses berkuliah. Hanya sepotong pengalaman yang dijadikan latar belakang untuk mengkaji dan menganalisis sistem edukasi pendidikan tinggi, utamanya di Belanda.

Setelah enam bulan berkuliah di program master Engineering and Policy Analysis, penulis menemukan beberapa perbedaan dengan perkuliahan yang dijalani di program studi sarjana Teknik Lingkungan ITB beberapa tahun silam meskipun ada juga persamaannya. Ya kalau semuanya beda, engga bisa lanjut kuliah di Belanda dong.

Pendidikan tinggi Belanda kurang lebih sama seperti di Indonesia, dilanjutkan setelah menamatkan SMA (disebut dengan HAVO atau VWO di Belanda, baca lebih lanjut). Berdasarkan pembicaraan dengan beberapa kolega, mahasiswa S1 Belanda juga tidak kalah malasnya dibandingkan yang diamati oleh penulis. Materi mata kuliah secara umum disampaikan melalui perkuliahan di mana dosen menerangkan materi dan mahasiswa mendengarkan. Namun, sampai sini saja persamaan itu hadir dan berikut beberapa perbedaan mendasar yang ditemukan oleh penulis.

Dimulai dari hal mendasar yaitu ECTS (singkatan dari European Credit Transfer and Accumulation System) yang bisa dibilang jelmaan SKS (Satuan Kredit Semester). 1 ECTS diatur setara dengan 28 jam belajar di mana kalau satu semester itu 30 ECTS maka diharapkan total waktu belajar mahasiswa adalah 840 jam. 840 jam ini kalaulah dibagi ke dalam 20 minggu maka seminggunya diisi dengan 42 jam belajar.

Untuk sistem perhitungan waktu belajar ini, bisa dibilang sedikit lebih akurat dibandingkan SKS yang setara dengan 3 jam. Saya belum pernah menemukan dan berkenalan dengan mahasiswa yang belajar 54 jam per minggu dengan perkiraan 18 SKS sebagai acuan. Secara matematis, lebih mungkin menemukan yang belajar 42 jam per minggu dibanding 54 jam.

Selain itu, meskipun satu tahun terbagi menjadi dua semester. Satu semesternya dibagi lebih lanjut menjadi dua kuarter dengan masing-masing kuarter terdiri dari 10 minggu termasuk minggu ujian. Metode ini memungkinkan materi lebih banyak dalam waktu yang lebih singkat karena mata kuliah terbagi menjadi dua periode.

Kekurangannya adalah ketika ada beberapa mata kuliah yang saling mendukung menjadi tidak bisa dipelajari dalam waktu yang sama. Kelebihannya tentunya adalah jumlah mata kuliah yang lebih sedikit memungkinkan untuk penulis mendalami sedikit mata kuliah dalam satu waktu.

Ujiannya sendiri tidak diwajibkan untuk dilaksanakan di akhir kuarter. Ada mata kuliah yang mengadakan ujiannya di minggu kelima. Yep, minggu Kelima. Empat minggu berkuliah kemudian disuguhkan dengan ujian tertulis untuk mengukur pemahaman mahasiswa. Materi yang diberikan menjadi tidak terlalu banyak untungnya dan lima minggu tersisa disediakan untuk kami bergulat dengan tugas besar.

Untuk jurusan penulis, ujian tidak menjadi tumpuan utama dalam mendapatkan nilai mata kuliah. Persentase nilai mata kuliah bervariasi bergantung masing-masing kebutuhannya. Sejauh ini, ujian berbobot tidak lebih dari 50% penilaian dan sisanya diambil dari nilai tugas. Hal ini dirasa lebih adil bagi penulis untuk menghabiskan waktu yang panjang dalam mengerjakan tugas dan masih diganjar persentase nilai yang tinggi.

Selain itu, tidak lulus ujian menjadi sebuah kewajaran di mana kebanyakan mata kuliah memang menyediakan retake exam bagi yang ingin meningkatkan nilai atau memperbaiki nilai agar bisa lulus mata kuliah. Secara umum, nilai ujian diambil yang tertinggi dari kedua ujian yang diambil.

Oh iya, soal dan jawaban ujian beberapa tahun terakhir dirilis oleh guru pengampu. Mahasiswa diperbolehkan untuk mempertanyakan jawaban atau penjelasan yang diberikan. Hal ini sangat menarik bagi penulis mengingat pengalamannya terkait ditawarkan menjadi anggota himpunan demi bundel soal dan tutorial dari kakak tingkat. Bukan tidak mungkin soal dan jawaban ujian diberikan oleh dosen-dosen di Indonesia, intuisi mengatakan ada dosen di luar sana dengan murah hati membagikan contoh-contoh soal ujian sebelumnya. Bukan membocorkan soal UN atau ujian semester.

Kehadiran tidak menjadi kewajiban dan penulis yakin hal ini didambakan bagi mereka para pasukan “tipsen”. Slide kuliah diberikan setelah kelas melalui situs perkuliahan. Di dalam situs itu juga, soal ujian dan jawabannya dibagikan. Situsnya berperan lebih dari tempat bertempur memperebutkan mata kuliah atau dosen favorit.

Bacaan materi yang akan diajarkan dibagikan melalui situs atau setidaknya tautan menuju sumber bacaan dicantumkan di sana. Memahami topik atau mengenal terminologi-terminologi yang akan digunakan menjadi kebutuhan bagi mereka yang awam. Hal ini adalah pedang bermata dua bagi mereka yang rajin membaca dan yang tidak membaca sama sekali.

Uniknya lagi, setiap satu jam sesi perkuliahan terdiri dari 45 menit kelas dan 15 menit istirahat. Apabila kelas dimulai 11.15 hingga 13.00, maka pukul 12.00-12.15 akan ada sesi “istrahat” di mana mahasiswa di waktu ini bisa menggunakan waktunya untuk ke toilet, membeli kopi, bertanya kepada dosen mengenai materi yang baru saja diberikan atau bercengkerama dengan teman kuliahnya. Bertanya apabila ada yang tidak jelas sangat dianjurkan dalam sesi perkuliahan, tidak jarang materi perkuliahan sedikit tertunda karena muncul pertanyaan berantai dari beberapa mahasiswa.

Sistem penilaian dilakukan dengan skala 0-10. Berbeda dengan 5 huruf keramat yang beredar pada universitas sebelumnya. Hal ini juga sedikit berbeda dengan yang penulis alami di mana huruf A yang didapat bisa berkisar dari pemahaman ditambah keberuntungan hingga pemahaman yang luar biasa. Angka 9 di TU Delft didapatkan secara umum dikarenakan standar pemahaman yang cukup baik.

Sejauh ini, penulis paling mengagumi bagaimana tanya jawab dilakukan di kelas. Dosen biasanya memberi tahu mahasiswanya agar langsung bertanya apabila ada yang tidak jelas. Hal ini tentunya mencegah mahasiswa lupa pertanyaan yang ingin diajukan.

Pada akhirnya, pengalaman penulis melanjutkan pendidikan di Belanda dirasa sedikit lebih baik dibanding sebelumnya. Hal ini bukan berarti yang sebelumnya buruk karena kalau demikian adanya, penulis tidak dapat melanjutkan pendidikan di TU Delft.

Artikel ini ditulis berdasarkan pengalaman pribadi penulis. Banyak hal yang berbeda dialami oleh penulis. Tidak semua yang berbeda lebih baik atau lebih buruk adanya.

Perlu diingat bahwa sebaik baiknya fasilitas pendidikan yang diberikan, pesertanya ikut menentukan apakah ia ingin dididik atau tidak. Sehebat apapun pengajarnya, tidak akan ada yang dipahami apabila mahasiswanya tidak ingin paham.