Aku adalah sebuah sungai. Setidaknya kalian memberikanku nama ganti seperti itu. Untuk nama, aku tidak ingin menyebutkannya. Aku ingin menjaga anonimitasku. Nanti kalian beramai-ramai lagi mendatangiku dan berusaha berbicara denganku. Sudah cukup menerima surat-surat dari Kugy. Biarlah Kugy saja yang pernah berbicara dengan kami. Lelah kami membaca suratnya. Tak tahukah ia kalau kami buta huruf.
Aku senang sekali membiarkan diriku mengalir. Aku berhenti menjadi diriku apabila berhenti mengalir. Bentuk badanku selalu mengikuti bentuk permukaan bumi. Aku selalu mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah.
Bentuk badanku selalu berubah. Mungkin kamu tidak menyadarinya tapi aku sebenarnya rajin menggerus dasar dan dinding tempat aku mengalir. Ada beberapa dari kamu yang sadar akan hal itu makanya memasang beton atau pelat besi untuk menjaga bentuk badanku. Mungkin menurut kalian, aku adalah sungai yang bandel dan sulit diatur karena aku mengalir sesuka hati. Tetapi mau bagaimana lagi, mengalir adalah hidupku. Lebih dari itu, berubah adalah aliranku.
Selain bentuk badanku yang berubah, karakterku juga sering berubah. Terkadang aku dangkal, terkadang aku dalam. Selain itu, isiku juga terus berubah. Yang kemarin ada di hulu, hari ini sudah tiba di hilir. Tahun lalu, banyak ikan dan alga, kini aku diisi benda-benda yang mengendap. Warnaku berubah. Dari bening, coklat, hingga kehitaman.
Selain namaku, kurasa tidak ada bagian dariku yang tetap. Di mana aku mulai dan di mana aku berakhir juga tidak jelas. Aku tinggal bersebelahan dengan ibu dan anak-anakku namun aku tidak yakin apakah aku lebih muda dari ibuku dan aku juga sama tidak yakinnya apakah aku lebih tua dari anak-anakku. Kami tidak tahu kapan kami dilahirkan. Iya, ibuku juga tidak ingat kapan aku lahir.
Oh iya, ibuku bisa kalian panggil laut. Jangan panggil dia sungai. Kalian nanti akan merasakan gelombang amarahnya.
Foto oleh Rhys Drury dari Unsplash