Ide-ide itu dikumpulkan. Dicuci bersih kemudian dicacah hingga ukuran yang diinginkan. Beberapa menyukainya apabila digoreng dengan minyak yang panas. Ada yang lebih memilih untuk mengkukusnya. Tidak sedikit juga yang hanya ingin merebusnya. Siap saji dan siap disantap. Ide mentah menjadi tulisan atau media komunikasi lainnya. Kalau daging imitasi yang berbahan sayuran menuai banyak kontra, isu yang tidak sebenarnya ada seringkali mendapat perhatian lebih dibandingkan isu yang telah dimasak matang-matang.
Ide itu dibentangkan. Ditorehkan di atas kertas. Seperti berseluncur di atas es, pulpen itu menari-menari dan berputar di atas kertas. Meninggalkan jejak. Mengisahkan sebuah cerita. Mewujudkan narasi yang ada di benak kepala menjadi nyata. Meletakkan huruf huruf sesuai urutan ibarat mengeksekusi gerakan demi gerakan secara berurutan. Menghadirkan sebuah cerita yang utuh. Olahragawan itu berseluncur di atas besi tajam, sama seperti pulpen. Penampilan yang tidak sampai sepuluh menit menghabiskan waktu latihannya berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan. Esai yang habis dibaca dalam sekali duduk di toilet itu juga melewati proses yang tidak kalah panjangnya.
Huruf-huruf itu ditanam, seperti padi di sawah. Bibitnya diletakkan berjarak agar punya ruang untuk bertumbuh. Diatur supaya tidak terlalu berjauhan untuk memanfaatkan luas tanah semaksimal mungkin. Dari kata ke kata diberikan spasi untuk memberi jeda dan sekaligus pemahaman kepada penulis dan pembaca. Bergerak dari kiri ke kanan sesuai peraturan. Sedikit berbeda dengan padi yang ditanam mundur ke belakang. Saat satu baris sudah terisi, baris berikutnyalah yang diisi. Musim panen, tanaman-tanaman itu ada yang menjadi beras dan ada yang menjadi bibit-bibit untuk musim berikutnya. Tulisan-tulisan itu ada yang dikonsumsi dan membuat pembaca senang. Adapula yang menginspirasi pembaca untuk menulis dan menanam kembali di lahan pikiran yang subur itu.
Bait bait itu diisi. Berbuah menghasilkan inspirasi untuk mereka yang mengkonsumsi. Huruf huruf itu tidak bertuan. Saat dibariskan, mereka baru akan mendapat perhatian. Mengikuti struktur tulisan seakan-akan bangunan. Pembukaan, kandungan, penutupan. Kalau kata adalah bata maka jeda dan tanda baca adalah yang merekatkannya.
Bentuk-bentuk itu berubah. Beradaptasi. Kertas menjadi layar. Diam menjadi gerak. Tadinya baku, sekarang dianggap kaku. Tadinya ditulis sekarang diketik. Biarpun begitu, tulisan tetaplah tulisan. Tidak berubah nama menjadi ketikan.
Foto oleh Timothy L Brock melalui Unsplash