Kalaulah aku sekarang ditanya mengapa melanjutkan kuliah, maka dengan pahit harus kuakui sebenarnya aku sudah tidak mengingatnya. Alasanku sekarang melanjutkan perkuliahan berbeda dengan saat ketika aku memilih untuk mendaftar di universitas TU Delft.
Tulisan ini adalah usahaku setidaknya untuk merekam dan menuangkan apa yang ada di pikiranku. Kendati aku tidak mengingat alasannya, ada beberapa peristiwa terkait yang menuntunku menuju Roma program engineering and policy analysis di TU Delft.
Keputusan setelah lulus sarjana
22 Juli 2017, aku resmi diwisuda dengan gelar sarjana teknik lingkungan. Di hari itu juga, aku resmi menjadi pengangguran. Di sekitar waktu itulah, aku memutuskan untuk menghabiskan waktu dua tahun untuk menjelajahi bidang-bidang pekerjaan yang ada. Aku bertekad untuk tidak menjadi staf tetap selama waktu itu.
Aku sering menggunakan analogi perjalanan untuk menjelaskannya. Bekerja di perkantoran dengan struktur yang jelas dan jenjang karir yang teratur ibaratkan melalui jalan tol yang sudah dibangun. Lebih mudah mencapai tempat yang kita tuju dan cukup mulus perjalanannya. Sementara aku yang memiliki aktivitas tidak tetap dari waktu ke waktu lebih menyerupai berjalan melewati hutan belantara atau setidaknya jalan yang tidak berada di dalam peta pada umumnya.
Perkenalan dengan jurusan Engineering and Policy Analysis
31 Agustus 2017, aku membantu dosen yang dulu membimbing tugas akhirku menerima rombongan peneliti dari Belanda. Sesederhana menjadi penerjemah. Entah bagaimana terjadi percakapan mengenai pertimbanganku untuk melanjutkan kuliah dengan salah satu peneliti. Karena pemahamanku yang sempit, selain melanjutkan di bidang yang sama, jurusan S2 lainnya yang kuketahui ialah bisnis, medis, dan psikologis yang mana semuanya tidak kuminati. Aku mengutarakan pemikiranku untuk mendalami teknik lingkungan. Lawan bicaraku menganjurkan untuk mencoba mempertimbangkan berkuliah di fakultas Technology, Policy, and Management (TPM) di TU Delft. Sebuah fakultas teknik yang banyak melibatkan aspek sosial. Dia berpendapat bahwa terkadang bukan pelaksananya yang kekurangan ilmu tapi para pengambil keputusannya yang abai informasi. Tidak 100% demikian kalimatnya namun kurang lebih begitu isinya yang masih kuingat.
Informasi ini kutindaklanjuti dan aku menemukan jurusan Engineering and Policy Analysis (EPA). Sederhananya, EPA mencakup bidang teknologi dan kebijakan. Ada dua jurusan lainnya yaitu Management of Technology (MOT) melingkupi bidang kebijakan dan manajemen, dan Complex System Engineering and Management (CoSEM) yang meliputi bidang teknologi dan manajemen. EPA seingatku menarik bagiku awalnya karena sesederhana ada kata engineering. Mengingat aku yang berlatar belakang sarjana teknik, lebih logis rasanya memilih hal yang lebih awam bagiku. Kemudian, aku lebih memilih kebijakan (EPA) sebagai komplemen ketimbang manajemen (CoSEM).
Lebih lanjut, aku melihat dua opsi spesialisasi yang menarik bagiku. Pertama yaitu tentang serious gaming. Tentang bagaimana menggunakan permainan sebagai media pembelajaran. Kedua yaitu kesempatan magang di Dutch Ministry of Infrastructure and the Environment. Walau hanya satu hingga dua minggu, menurutku pengalaman ini akan menarik. Pada akhirnya, aku mengambil spesialisasi serious gaming.
Selain informasi jurusan, aku juga menemukan informasi mengenai beasiswa fakultas TPM yang dapat membiayai segala kebutuhan hidup dan juga uang kuliahnya. Sayangnya, tenggat waktu setiap tahunnya berada di April sehingga aku menunggu hingga tahun berikutnya.
Kesempatan yang terlewatkan
Tahun 2018 pun tiba dan April pun berlalu begitu saja. Karena satu dan lain hal, aku tidak mendaftar baik perkuliahan maupun beasiswanya. Di tahun yang sama, aku menyempatkan diri mendaftar beasiswa LPDP untuk berkuliah di UCL dengan jurusan environment and sustainable development. Aku benar-benar lupa mengapa. Singkat cerita, aku tidak mendapatkannya.
Percobaan yang awalnya gagal
Belajar dari pengalaman, aku mempersiapkan dengan lebih matang mengenai pendaftaran beasiswa fakultas TPM dan di tahun 2019 aku mendaftar. Cover letter yang kukumpulkan sempat mengalami revisi besar setidaknya tiga kali dan entah berapa kali aku memperbaiki kalimat demi kalimatnya.
28 Maret 2019, aku memasukkan semua dokumenku.
13 Mei 2019, aku dinyatakan terdaftar di jurusan Engineering and Policy Analysis. Sayang beasiswanya tidak kudapat.
19 Juni 2019, aku ditelepon langsung oleh pihak fakultas terkait beasiswa fakultas. Aku berada di waiting list dan karena masih ada kuota yang kosong dari yang seharusnya 5 penerima, aku ditawarkan pada akhirnya beasiswa tersebut. Untuk kronologi lebih lengkapnya, klik tautan berikut.
Pengalaman remeh dan berkesan
Di awal tahun 2019, aku melakukan sebuah interview untuk pekerjaan. Dalam interview tersebut, muncul pertanyaan: apakah aku sedang mendaftar beasiswa? Dengan jujur aku menjawab bahwa aku sedang mendaftar beasiswa fakultas ini. Lebih memilih mana tanyanya. Lebih memilih yang memberikan jawaban duluan jawabku. Pekerjaan itu tidak kudapatkan pada akhirnya. Beruntung, hal itu memudahkan hidupku untuk tetap menjaga integritas.
Foto oleh Roger Bradshaw melalui Unsplash